Jumat, 28 Desember 2012 0 komentar

Mortar Stamper VS Mesin Produksi



Hidup itu pilihan, sama seperti halnya saya memilih fokus di bidang industri farmasi (walaupun masih seumur jagung) dibandingkan menjadi expert di bidang klinis. Tanya kenapa?

Dibandingkan dengan industri farmasi yang “rule”-nya sudah mantap dengan adanya GMP/CPOB dan peraturan-peraturan lainnya, menurut pendapat saya pribadi dunia pelayanan farmasi (di Indonesia) masih belum memiliki “rule” yang solid. Salah satu contohnya adalah compounding/peracikan obat yang tidak sesuai masih saja sering terjadi seperti meracik obat (misal obat deman) dengan antibiotik. Dari segi farmakologi, tentunya hal tersebut kurang begitu tepat karena obat demam hanya diminum ketika sakit sedangkan antibiotik diminum sampai habis walaupun sudah tidak sakit. Bagaimana cara minum bila kedua obat ini digabung? Dan apakan pembagian secara manual bisa menjamin keseragaman dosis ditiap kemasan (tiap bungkus.red)? Masalah berikutnya, mungkin saja racikan tersebut diketahui tidak terjadi interaksi antar zat aktif, namun bisa saja terjadi interaksi obat-eksipien atau eksipien-eksipien. Who Knows?



Itu dari segi farmakologi (tentunya orang – orang yang mengerti farmakologi akan menemukan lebih banyak lagi masalah terkait racikan), dari segi teknologi farmasi, miris sekali melihat obat yang sudah dibuat bagus dalam bentuk sediaan tertentu dihancurkan begitu saja. Padahal untuk membuatnya, membutuhkan teknologi yang rumit dengan persyaratan ruang produksi yang kompleks seperti CPOB/GMP serta biaya produksi yang tidak murah.

Belum lagi untuk antibiotik, ruang produksi terpisah dimana para operatornya diisolasi, ketika semua makan siang di kantin, para operator di ruang produksi antibiotik makan di dalam ruangan untuk mencegah cross contamination. Saya pernah mengalaminya walaupun hanya satu hari saja. Menurut kabar yang pernah saya dengar, operator yang dipilih di ruang produksi antibiotik biasanya adalah karyawan yang tidak berencana mempunyai keturunan karena dikhawatirkan terjadi abnormalitas pada janin atau bahkan kemandulan. Sebesar itu resiko yang harus di tanggung oleh operator produksi antibiotik namun di pasaran, obat tersebut dihancurkan hanya dalam hitungan detik?

Ketika S1 saya sempat bekerja part time di salah satu apotek. Waktu itu saya ingin membandingkan antara dunia putih (teori) dengan dunia hitam (aktual). Kebetulan apotek tersebut bekerja sama dengan dokter spesialis anak sehingga kebanyakan obat yang diresekan dalam bentuk racikan. Dengan bermodalkan mortar, stamper, kertas perkamen dan sudip resep racikan terebut dapat terlayani, bahkan tablet salutpun juga diracik dan dicampur dengan bahan lain (padahal tablet tersebut ada alasan tersendiri kenapa disalut, bukan serta merta agar terlihat bagus dan enak dipandang). Racikan umum lainnya adalah pembuatan suspensi heterogen yang dibuat dengan cara mencampurkan sirup dengan tablet yang telah dihaluskan sebelumnya. Padahal untuk memproduksi sirup membutuhkan proses filtering yang cukup lama. Selain itu harga filter disposable yang cukup mahal (± 1 juta), dan untuk produk tertentu terkadang menggunakan lebih dari 1 filter. Namun lagi – lagi sirup yang sudah melalui serangkaian proses diubah menjadi suspensi dengan ukuran partikel yang mungkin saja beragam.

Tidak dipungkiri bahwasanya resep racikan juga sangat berperan bagi pasien, salah satunya pasien anak-anak yang tidak bisa menelan obat. Namun resep racikan sebaiknya diberikan sebagai pilihan terakhir ketika tidak ada sediaan lain yang sesuai. Dalam kasus anak yang susah menelan obat, sediaan dalam bentuk drops menurut saya lebih mudah dan nyaman dibandingkan dengan racikan. Untuk mengubah tradisi perklinisan menjadi “lebih benar” tentunya cukup pelik dan membutuhkan apoteker klinis yang benar-benar bisa mengambil gebrakan, out of the box.

Baca selanjutnya : Interview (!)

Baca sebelumnya : Universitas dengan Program Studi Apoteker Terbaik di Indonesia

Universitas dengan Program Studi Apoteker Terbaik di Indonesia



Setelah sempat membahas mengenai 10 universitas farmasi terbaik (tahun 2012) (baca postingan selengkapnya disini).  Kali ini saya akan membahas mengenai universitas dengan program profesi apoteker terbaik.
Program profesi apoteker adalah program lanjutan selama ± 1 tahun yang dapat ditempuh minimal setelah melalui program sarjana farmasi dengan gelar akhir Apt. Untuk mengetahui kurikulum dan silabus mengenai program profesi apoteker secara general di Indonesia dapat dilihat pada website APTFI (Asosiasi  Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia).
Dari data APTFI, tercatat 26 PTF penyelenggara prodi profesi apoteker (PSPA) di Indonesia, PTF tersebut antara lain:
1.      Universitas Sumatera Utara, Medan
2.      Universitas Andalas, Padang
3.      Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi-Perintis, Padang
4.      Universitas Indonesia, Jakarta
5.      Universitas Pancasila, Jakarta
6.      Universitas Muhammadiyah HAMKA, Jakarta
7.      Universitas 17-Agustus, Jakarta
8.      Institut Sains dan Teknologi, Jakarta
9.      Institut Teknologi Bandung, Bandung
10.  Universitas Padjadjaran, Bandung
11.  Universitas Jend Ahmad Yani, Bandung
12.  Sekolah Tinggi Farmasi, Bandung
13.  Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Purwokerto
14.  STIFAR Yayasan Pharmaci, Semarang
15.  Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
16.  Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
17.  Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
18.  Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
19.  Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta
20.  Universitas Setia budi, Surakarta
21.  Universitas Airlangga, Surabaya
22.  Universitas Surabaya, Surabaya
23.  Universitas Widya Mandala, Surabaya
24.  Universitas Udayana, Denpasar
25.  Universitas Hasanuddin, Makassar
26.  Universitas Wahid Hasyim, Semarang

Berbeda dengan peraturan lama dimana akreditasi program sarjana farmasi dan apoteker digabung menjadi satu, mulai tahun lalu kedua program tersebut dibedakan akreditasinya.
Sampai bulan oktober lalu tercatat sekitar 22 PTF Penyelenggara prodi profesi apoteker (PSPA) yang telah terkareditasi dengan nilai A-C. Berikut 12 PTF PSPA yang mendapat akreditasi A:
Berlaku mulai tanggal 3 Februari 2012
Universitas Sumatera Utara, Medan Peringkat A
Universitas Indonesia, Jakarta Peringkat A
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Peringkat A
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Peringkat A
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Peringkat A

Berlaku  mulai tanggal 10 Februari 2012
Universitas Surabaya, Peringkat A

Berlaku mulai tanggal 17 Februari 2012
Universitas Padjajaran, Bandung Peringkat A
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Surabaya Peringkat A
Universitas Hasanuddin, Makassar Peringkat A

Berlaku mulai tanggal 18 Oktober 2012
Institut Teknologi Bandung, Peringkat A
Universitas Airlangga, Surabaya Peringkat A
Universitas Andalas, Padang Peringkat A

Karena belum ada situs/website yang secara resmi memberikan peringkat PTF dengan PSPA terbaik, penulis mencoba mengurutkannya sesuai dengan gabungan universitas terbaik versi beberapa website (versi The QS, webometrics, dan 4ICU) dan berdasarkan akreditasi yang diperoleh.

Peringkat universitas versi webometrics (skala Indonesia)
1.      Universitas Gadjah Mada
2.      Universitas Indonesia
3.      Institut Teknologi Bandung
11. Univertas Airlangga
12. Universitas Padjajaran
13. Universitas Hasanuddin
23. Universitas Muhammadiyah Surakarta
27. Universitas Andalas
29. Universitas Sumatera Utara
36. Universitas Surabaya
72. Universitas Sanata Dharma
79. Universitas Katolik Widya Mandala

Peringkat universitas versi The QS (skala Asia karena website ini tidak menyediakan peringkat berdasarkan setiap negara)
59. Universitas Indonesia
113. Institut Teknologi Bandung
118. Universitas Gadjah Mada
135. Universitas Airlangga
190. Universitas Padjajaran

Peringkat universitas versi 4ICU (skala Indonesia)
1.      Institut Teknologi Bandung
2.      Universitas Indonesia
3.      Universitas Gadjah Mada
6.  Universitas Airlangga
11. Universitas Padjajaran
13. Universitas Sumatera Utara
25. Universitas Muhammadiyah Surakarta
26. Universitas Hasanuddin
31. Universitas Surabaya
33. Universitas Andalas
45. Universitas Sanata Dharma
80. Universitas Katolik Widya Mandala

Dari data – data tersebut berikut 10 PTF dengan Program Studi Profesi Apoteker terbaik tahun 2012 versi penulis:
1.      Universitas Indonesia
2.      Institut Teknologi Bandung
3.      Universitas Gadjah Mada
4.      Universitas Airlangga
5.      Universitas Padjajaran
6.      Universitas Hasanuddin
7.      Universitas Sumatera Utara
8.      Universitas Muhammadiyah Surakarta
9.      Universitas Andalas
10.  Universitas Surabaya
11.  Universitas Sanata Dharma
12.  Universitas Katolik Widya Mandala
Itulah PTF dengan prodi profesi apoteker terbaik versi penulis. Namun demikian selain melihat peringkat PSPA tersebut, untuk memilih PSPA yang sesui perlu dilihat juga bidang apa yang menjadi unggulan di setiap PSPA misalkan saja untuk ITB lebih unggul di bidang formulasi dan teknologi farmasinya, UNAIR di bidang klinis/pelayanan, UI di bidang manajemen farmasi, dan UGM di bidang bahan alam.

Baca selanjutnya : Mortar Stamper VS Mesin Produksi

Baca sebelumnya : Epilog : Goodbye 2012

Rabu, 26 Desember 2012 0 komentar

Epilog : Goodbye 2012

Akhirnya tahun 2012 sudah hampir berlalu. Tahun yang menurut saya cukup berat untuk dilalui sekaligus tahun penuh tantangan, penuh makna, penuh tragedy. Berharap tahun 2013 jauh lebih baik :)

Januari
Bulan pertama di tahun 2012 saya melaksanakan PKPA (Praktek Kerja Profesi Apoteker) di Industri Farmasi, yaitu PT. Meprofarm, Bandung.

Februari
PKPA di Industri berlangsung selama 7 minggu dan berakhir 10 Februari 2012. Selama PKPA ini saya ditempatkan di Research and Development (R&D) Department.
Keluarga besar Research and Development (R&D) Department PT. Meprofarm, Bandung
  
Maret
Perkuliahan semester 2 dimulai, perjuangan selama 7 minggu kuliah dengan tugas yang melimpah dibandingkan semester lalu.

April
Ujian Akhir Semester (UAS) semester 2. Kuliah yang dipadatkan menjadi 2 bulan, tetapi bahan ujian tidak ikut dipadatkan juga o__O.

Mei
Saya berkesempatan mudik. Dan ternyata ini adalah kepulangan pertama dan terakhir saya di tahun 2012.

Juni
Saya melaksanakan PKPA di BBPOM (Balai Besar Penilaian Obat dan Makanan) Bandung selama 3 minggu dan ditempatkan di Bidang Penilaian Mikrobiologi. Kemudian dilanjutkan di RS Hasan Sadikin Bandung.
  

Juli
2 Juli 2012, usia saya genap 24 tahun (masih muda ya, menghibur diri sendiri haha). PKPA terakhir saya adalah di Apotek (tepatnya di Klinik Medika Antapani, Bandung).
Juli juga bulan penuh makna karena selama 2 minggu penuh dipersiapkan untuk Ujian Apoteker. Bulan penuh kenangan juga karena selama 2 minggu itu pula saya habiskan waktu dengan teman-teman di Markas (tempat untuk belajar.red). Begadang bareng sampai jam 3 dini hari, membahas materi ujian walaupun mata sudah merah karena kurang tidur, harus tidur bareng berbantalkan buku haha. You’re great friends that I ever had guys.. (thank’s udah bikin gw jadi orang yang rajin buka buku tiap hari) :’(
Teman-teman seperjuangan ujian apoteker
Agustus
Ujian Apoteker tahap 1 (Ujian Penelusuran Pustaka), ujian inilah yang menjadi alasan utama saya tidak ingin masuk ITB pada awalnya. Tapi tuhan berkehendak lain. Kemudian di pertengahan bulan Agustus yang bertepatan dengan bulan puasa diadakan ujian apoteker tahap 2 (ujian komprehensif) (ujian lisan dengan 10 penguji dari dosen dan praktisi berbagai instansi.red).
Betapa besar beban mental yang dirasakan ketika melalui ujian ini, bayangkan saja bila tidak lulus harus bertemu dengan ujian “horor” ini kembali semester depan dan harus membayar 4.5jt. Beban sayapun terluapkan ketika memberi kabar kepada nyokap bahwa saya lulus dan ini merupakan moment pertama saya menangis di depan nyokap (ujian apoteker ini benar-benar perjuangan karena pressure-nya yang dasyat).

September
Awal bulan September saya disibukkan dengan ujian apoteker tahap 3 (ujian praktikum). Gara-gara menyiapkan ujian ini pula, saya harus rela berlebaran sendiri di Bandung.
Beban yang dirasakan di ujian tahap 3 ini jauh lebih besar karena bayangkan saja bila tidak lulus di tahap akhir, tinggal selangkah lagi menjadi Apoteker. Namun bukan ujian apoteker bila tidak memakan korban di tiap tahapnya.
Menunggu pengumuman ujian tahap 3 sama galaunya seperti tahap sebelumnya. Pokoknya selama ujian tahap 1-3 (sekitar 2 bulan) dipenuhi dengan kegalauan hidup *saya yakin semua teman-teman angkatan saya juga merasakan hal yang sama*.
Dan Alhamdulillah pada tanggal 11 september saya dinyatakan lulus (anehnya, ujian yang sesulit itu cuma dihargai 1 SKS saja o__O).

Oktober
3 Oktober 2012, di Aula Barat, ITB. Alhamdulillah gelar Apoteker resmi saya dapatkan. Usai bahagia di awal bulan, selama 3 minggu berikutnya saya kewalahan mencari perkerjaan (3 minggu menjadi pengangguran serasa 3 bulan). Tanggal 29 Oktober 2012 saya mulai bekerja di salah satu industri farmasi multinasional di Bogor.
Foto pelantikan sumpah apoteker
 November - Desember
Saya mulai menikmati pekerjaan saya di bulan ini, mengenal para operator produksi yang kocak dan baik. Para operator yang tidak percaya ketika saya bilang umur saya masih 18 tahun, tidak percaya kalau saya orang yang pendiam, dan bahkan tidak percaya kalau saya seorang muslim (yang terakhir ini memang parah -__-‘).

Baca selanjutnya : Universitas dengan Program Studi Apoteker Terbaik di Indonesia

Baca sebelumnya : Google Award 2012